Senin, 15 Juli 2013
Rabu, 10 Juli 2013
Review
Buku Studi Islam Kontemporer
4
Juli 2013
Oleh
: Alifa Zaky Ghozali093111021Judul : Studi Islam Kontemporer
Penulis : M.Rikza Chamami, M. Si
Penerbit : Pustaka Rizki Putra (Semarang)
Cetakan : Cetakan pertama
Tahun terbit : Desember 2012Tebal buku : 228 halaman + xii
STUDI ISLAM KONTEMPORER
Bab 1
Pasang Surut Kebangkitan Kebudayaan Dan Keilmuan: Potret Disintegrasi Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, sementara itu Umayyah berada di Damaskus, memiliki karakter kebijakan yang dihasilkan dengan mendapatkan stempel agama. Dinasti ini didirikan oleh keturunan Al-abbas paman Nabi Muhammad, Abdullah Al-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dinasti Abbasiyah berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 508 tahun ( 750 M/132 H – 1258 M/656 H). Perkembangan dinasti Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode:pertama,periode perkembangan dan puncak kejayaan (750-950 M).Kedua,periode disintegrasi (950-1050 M).Ketiga,periode kemunduran dan kehancuran (1050-1250 M).Tanda-tanda adanya disintegrasi adalah:pertama,munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun di timur Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi.Kedua,perebutan kekuasaan oleh dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Baghdad, sehingga menjadikan fungsi khalifah bagaikan boneka.Ketiga,lahirnya perang salib antara pasukan islam dengan Eropa. Umat islam menikmati keadaan tentram dan ekonomi stabil setelah berdirinya dinasti Abbasiyan ketika Abu Abbas As-shaffah dan khalifah Abu Ja’far berhasil mempertahankan serta menumpas musuh-musuhnya. Berikut adalah sebagian ilmu-ilmu isla yang telah mengalami perubahan dan perkembangan besar di zaman pemerintahan Abbasiyah:a) Ilmu Tafsirb) Ilmu Nahwuc) Ilmu Sejarahd) Terjemah dari bahasa Asing
Bab 2
Kajian Kritis Dialektika Fenomenologi dan Islam
Dalam bab ini, penulis mencari otensitas islam dengan pendekatan studi islam yang mampu membedah wujud islam melalui fenomenologi. Bahwa seluruh alam adalah sebuah buku besar yang penuh dengan tanda-tanda tuhan bagi mereka yang mau merenungkannya.Dalam filsafat fenomenologi bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak berupa kejadian. Sifat-sifat pokok dari fenomenologi secara luas, tapi yang kita harus tahu adalah arti sempitnya yaitu arti sebagai metode. Metode fenomenologi yaitu metode yang berusaha untuk menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu menurut suatu fenomena. Biasanya obje yang di teliti mengarah kepada kondisi dan pengalaman rohani. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Edmund Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Fenomenologi memperhatikan benda yang konkrit, dalam pengertian bukan wujud dari benda itu melainkan struktur pokok dari benda tersebut. Pendekatan ini digunakan untuk memahami arti, peristiwa serta keterkaitannya terhadap orang-orang dalam situasi tertentu.Kajian fenomenologis terhadap esensitas keberaganaan manusia muncul karena adanya ketidakpuasan para agamawan terhadap kajian historis yang hanya mengkaji aspek-aspek normativitas agama dari kulit luar saja, sedangkan aspek internalitas-kedalaman keberagamaan kurang tersentuh.Fenomenologi memang ilmu pengetahuan tentang apa yang tampak. Seperti yang sudah tersirat dalam namanya fenomenologi mempelajari yang tampak atau apa yang menampakkan diri yang tadinya bersifat normatif menjadi fenomena yang bersifat empiris.
Bab 3
Filsafat Materialisme Karl Mark Dan Friedrick Engels
Materialisme adalah sistem pemikiran yang menyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, system berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialism dialektika Karl Mark. Dalam kritik yang dilontarkan pada Hegel tentang manusia sebagai esensi dari jiwa, Mark menyanggah bahwa manusia adalah makhluk alamiah dalam dunia objek alamiah. Marx menganggap bahwa materi adalah hal yang utama, sementara pikiran wilayah konsep dan ide yang begitu penting bagai para pemikir sebenarnya hanya refleksi.Dengan menganut suatu materialisme yang bersifat dialektis, Mark dan Engeles menolak materialism abad ke-18 dan juga materialisme ilmiah dari abad 19 yang kedua-duanya bersifat mekanistis. Salah satu prinsip materialisme dialektis adalah bahwa perubahan dalam hal kuantitas dapat mengakibatkan perubahan dalam hal kualitas. Berarti suatu kejadian pada taraf kuantitaf (misalnya pengintegrasian lebih rapat dari bagian-bagian materi) yang menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan cara itulah kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran manusiawi berasal dari kehidupan organanis.
Bab 4
Skeptisisme Otentitas Hadits:Kritik Orientalis Ignaz Goldziher
Orientalis Barat pertama yang melakukan kajian seputar hadits ialah Ignaz Goldziher, orang yahudi kelahiran Hongaria berkebangsaan Jerman, kemudian diikuti oleh Joseph Schacht juga orang Yahudi berkebangsaan Jerman.Kajian dan penelitian kedua orientalis ini menyimpulkan tidak adanya otentisitas/ keshahihan hadits Nabawi khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa hadits bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah, dengan kata lain hadits hanyalah buatan para ulama.Kedua kritikus non muslim itu pada dasarnya bukan untuk mencari ajaran yang terkandumg di dalam hadits Nabawi, melainkan mencari kelemahan-kelemahan dan menyimpulkan bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan dan sumber kedua hukum Islam hanya rekayasa para ulama. Dengan demikian Goldziher tidak lagi percaya bahwa hadits adalah murni sabda dari Nabi yang benar-benar pure.Walaupun ia tetap menyakini bahwa hadits masih menjadi sumber hukum Islam.Goldziher menyatakan bahwa hadits bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praksis. Bagi Goldziher, hadits sebagian besar adalah hasil dari perkembangan politik dan kemasyarakatan abad I dan II Hijriyah
Bab 5
Telaah Sosio-kultural: Manhaj Ahlul Madinah
ukum islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh orang-orang islam, yang mencakup tugas-tugas agama yang datang dari Allah dan diwajibkan terhadap semua orang islam dan semua aspek kehidupan mereka. Apabila al-Qur’an atau hadits shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepeda ummat sebelumnya, kemudian al-Qur’an atau hadits menetapkan bahwa hukum tersebut diwajibkan pula kepada ummat islam sebagaimana diwajibkan kepeda mereka, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum yang harus kita ikuti. Misal kewajiban puasa yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183.Setelah Rasulullah SAW wafat, ketika ada permasalahan yang tidak ada ketentuannya dalam nash,para ulama merasa mempunyai kewajiban untuk memberi penjelasan dan penafsiran nash Al-Qur’an dan as-sunnah dengan berijtihad. Namun dalam melakukan ijtihad perspektif yang mereka gunakan berbeda, ada yang lebih menekankan pada penggunaan dasar nash Al-Quran, dan as-sunnah, dan lebih memilih hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada menggunakan akal, jika hadits tersebut memenuhi syarat keshahihannya atau yang dikenal dengan ahlul hadits, dan ada yang sering mendahulukan pendapat akal daripada hadits-hadits ahad, dan merka sangatlah selektif dalam menerima hadits-hadits yang dikenal dengan ahli ra’yu. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan sosio kultur.Kelompok ahlul hadits lebih mendahulukan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang bersifat ahad daripada pendapat akal, jika hadits-hadits tersebut memenuhi syarat kesahihannya. Tokoh yang lahir dari kalangan ahlul hadits yaitu: Madzhab Syafi’i, Madzhab Maliki, dan Madzhab Hambali, karena mereka lahir di Madinah dimana mayoritas penduduknya hafal hadits. Sedangkan imam yang lahir dari golongan ahli ra’yu yaitu Imam Hanafi.
Bab 6
Postmodernisme Realitas Filsafat Kontemporer
Menurut Lyotard postmodernisme adalah upaya yang tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Istilah “posmodernisme” bias menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bias berarti: aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada pergeseran paradigma) ataupun sikap dasar atau etos tertentu.Modernisme adalah salah satu contoh utamanya, yang memandang realitas sebagai keutuhan yang tertera dan berpusat pada prinsip rasionalitas. Konsep posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dan kontruksi dan ruang. Tata fikir spesifik posmo adalah kontradiksi, kontravensi, paradoks, dan dilematik. Disini terdapat dua post-modernisme.Pertama, dinilai sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Kedua,dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekontruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigm pemikiran modern.
Bab 7
Potret Metode Dan Corak Tafsir Al-Azhar
Metode yang dipakai Hamka adalah metode analisis (tahlili) bergaya khas mushaf. Metode analisis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Corak yang dikedepankan oleh Hamka dalam al-Azhar adalah kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i Sufi (social kemasyarakatan) yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an secara teliti, kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.
Bab 8
Diskursus metode hermeneutika Al-Qur’an
Terminologi Hermeneutika adalah salah satu paradigma keilmuan yang terkait dengan menafsirkan teks-teks kita suci, juga tekenal sebagai betuk metode filsafat kontempore yang mencoba menguak makna suatu teks. Hermeneutik digunakan sebagai jembatan untuk memahami Islam secara global, baik secara historis-sosiologis maupun semiotis-kebahasaan. Hermeneutika merupakan cara-cara untuk menafsirkan simbol-simbol yang terwujud dalam teks atau bentuk – bentuk lainnya, untuk memahami kitab-kitab suci yang dilakukan oleh agamawan. Pengalaman secara verbal terhadap kitab suci harus tunduk di bawah aturan yang sama dengan yang di lakukan terhadap teks lain. Metode hermeneutika sebagai penafsiran kitab-kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran seperti filologi.Hermeneutika dalam konteks al-Qur’an sering dinilai rancu, karena hermeneutika muncul dari tradisi barat yang banyak dihasilkan oleh orang non muslim. Sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci umat muslim, sehingga tidak mungkin dengan mudah menerima produk dari orang non muslim. Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskurus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih mengenal istilah al-tafsir, al-ta’wil, dan al bayan.Namun, sekarang ini hermeneutika sudah mulai digunakan sebagai metode tafsir al- Qur’an karena merupakan salah satu metode untuk membedah kandungan ayat al-Qur’an dengan menyesuaikan konteks dan membuat ayat tersebut menjadi kontekstual. Sehingga yang muncul hanyalah dialog al-Qur’an antara teks dan konteks.
Bab 9
Jawa Dan Tradisi Islam Penafsiran Historiografi Jawa Mark R Woodward
Seorang antropolog Amerika mempopulerkan tiga varian keagamaan masyarakat Jawa. Abangan; kaum yang memiliki sikap lebih menitikberatkan segi-segi sinkretisme dalam agama Jawa yang komprehensif. Santri; kaum yang memiliki sikap dan prilaku menitikberatkan segi-segi Islam. Priyayi; kaum yang mempunyai sikap lebih menitikberatkan pada segi-segi Hindu.Proses Islamisasi di Jawa berlangsung sekitar masa pemerintahan kerajaan Hindu Majapahit berkembang pesat setelah pergolakan kedaerahan dapat dipadamkan, sehingga seluruh daerah pedalaman dan pesisir berhasil dikonsolidasikan.
BAB 10
Reinterpretasi Profil Peradaban Islam
Peradaban adalah bentuk kebudayaan yang paling ideal dan puncak, sehingga menunjukkan keadaban (madaniyah), kemajuan (taqaddum), dan kemakmuran (‘umran) suatu masyarakat. Jika kebudayaan bersifat abstraksi seperti sains murni, maka peradaban adalah hasil penerapannya seperti teknologi dan produk-produknya. Kebudayaan merupakan ekspresi-ekspresi subjektif dan particular (individual) yang terrefleksi dalam seni, sastra, religi, kepercayaan dan filsafat. Sedangkan peradaban bersifat objektif dan universal yang terrefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.Datangnya Islam yang dimana pertama kali tersebar di kawasan semenanjung Arab memberikan pengaruh terhadap kebudayaan setempat, yakni memberikan ciri khusus terhadap kebudayaan itu sehingga tercipta kebudayaan yang berdasar pada nilai-nilai yang Islami. Kemudian hubungannya dengan peradaban adalah bahwa peradaban merupakan perkembangan dan kemajuan lebih lanjut yang bermula dari kebudayaan.Pada dasarnya landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Karena dalam Islam, agama bukanlah kebudayaan seperti yang dipercaya oleh penganut agama “bumi” (non-samawi), tetapi dari agama dapat melahirkan kebudayaan.
Minggu, 07 Juli 2013
makalah PSI kelompok 2 (dinamika islam di dunia)
DINAMIKA
STUDI ISLAM DI DUNIA
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Pengantar Studi Islam
Dosen
Pengampu: M.Rikza Chamami M.Si
Disusun
oleh:
1. Alifa Zaky Ghozali (093111021)
2. Reti trianasari (123911092)
3. Rizka Fitriyani (123911095)
4. Sabrina Kartikawaty (123911099)
5. Hesti Fitri Umami (123911119)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
Pendahuluan
Islam
merupakan agama Allah yang diturunkan melalui
Nabi Muhammad SAW. Dengan Al-qur’an
sebagai pedomannya untuk mengarahkan kepada seluruh umat manusia ke jalan yang
sebenarnya yang di ridhoi oleh Allah SWT.
Islam
mengajarkan kehidupanyang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran dalam
pengenbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual, mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, mencintai kebersihan, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Beberapa
alasan tersebut di ataslah yang mungkin menyebabkan orang-orang barat tertarik
untuk mempelajari islam, baik budaya, maupun ilmu pengetahuannya. Sehingga
kebudayaan islam di dunia berkembang menjadi pesat.
II.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana studi islam di Indonesia ?
b.
Bagaimana dinamika studi islam di Timur ?
c.
Bagaimana studi islam di Barat ?
III.
Pembahasan
A. Pendidikan
Islam di Indonesia
Pendidikan
Islam di Indonesia telah dimulai sejak masuknya Islam ke
Indonesia. Mengenai tentang dimulainya pendidikan islam di Indonesia terdapat
beberapa teori tentang ini. Pertama adalah “teori India” yang berpendapat bahwa
islam berasal dari India. Di antara sarjana Belanda yang berpendapat bahwa
kedatangan Islam barasal dari India, adalah Pijnappel dari Universitas Leiden,
yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dan Malabar.
Pendapat berikutnya menyatakan bahwa Islam
di Indonesia berasal dari Arab. Teori ini disebut dengan “teori Arab”. Teori
ini juga didukung oleh sejumlah sarjana di antaranya Crawfurd, Niemann, de
Hollander, dan yang paling gigih mempertahankannya adalah Naquib Al Attas.
Berkenaan dengan “teori Arab” ini di Indonesia sudah beberapa kali diadakan
tentang seminar masuknya Islam ke Indonesia. Seminar Medan tahun 1963 dan
seminar Aceh tahun 1978. Kedua seminar itu menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah dan langsung dari Arab.
Semua teori itu masih dalam proses
perkembangan dan bahkan tidak mustahil ada teori lain yang muncul belakangan.
Pembahasan tentang teori masuknya Islam ke Indonesia dikemukakan hanya garis
besarnya saja, tidak terinci dan mendetail. Hal ini disebabkan karena fokus
utama adalah tentang pendidikan Islam yang telah dimulai sejak masuknya Islam
ke Indonesia. Karena pendidikan Islam itu telah dimulai sejak masuknya Islam ke
Indonesia, tidak boleh tidak mestilah disinggung tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Hal ini bermakna bahwa apabila Islam itu telah masuk ke Indonesia
pada abad ke-8 M, berarti pendidikan Islam telah dimulai sejak saat itu.
Kaitannya dengan pendidikan Islam perlu
dicari esensi tentang pendidikan. Pendidikan adalah proses pembentukan manusia
ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan Islam itu adalah
pembentukan manusia sessuai dengan tuntutan Islam. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh para mubaligh awal yang
datang ke Indonesia baik sebagai mubaligh semata maupun pedagang yang berperan
sebagai mubaligh adalah kegiatan yang terkait dengan kegiatan pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya
islam ke Indonesia, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan
peranannya dalam proses Islamisasi di Indonesia.
Pada tahap awal pendidikan Islam di
Indonesia berlangsung secara informal. Kontak-kontak person antara mubaligh dan
masyarakat sekitar yang tidak terancang terstruktural secara jelas dan tegas.
Dalam hal ini tidak ada jadwal waktu tertentu, tidak ada materi tertentu, dan tidak
ada tempat yang khusus. Pergaulan keseharian yang di dalamnya mengandung unsur
pendidikan, seperti keteladanan yang diberikan oleh para mubaligh merupakan
ketertarikan masyarakat sekitar untuk memeluk agam Islam. Setelah pendidikan
informal itu berlangsung, maka muncullah pendidikan formal. Yaitu pendidikan
yang terencana, punya waktu, tempat, dan materi tertentu.[1]
Kajian tentang pendidikan Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama sejak mulai tumbuhnya
pendidikan Islam padda awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide
pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkannya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No.2 tahun 1989 dan dilanjutkan
dengan UU No.20 tahun 2003).[2]
Pendidikan memiliki nilai yang strategis
dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Pendidikan itu juga berupaya untuk
menjamin kelangsungan hidup bangsa tersebut. Sebab lewat pendidikan akan diwariskan
nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut, karena itu pendidikan
tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do, tetapi yang amat
terpenting adalah how to be, bagaimana supaya how to be terwujud, maka
diperlukan transfer budaya dan kultur.[3]
Berdasarkan
kedudukan Islam di Indonesia, ada kajian historis seperti yang
diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan Islam di Indonesia, telah berlangsung sejak masuknnya Islam ke
Indonesia.Pendidikan itu pada tahap awal terlaksana atas adanya kontak antara
pedagang atau mubaligh dengan masyarakat sekitar, bentuknya lebih mengarah
kepada kependidikan informal.Setelah berdiri kerajaan-kerajaan Islam tersebut
berada di bawah tanggung jawab kerajaan Islam.
Masuknya kaum penjajah Barat, memisahkan
pendidikan Islam, dengan pendidikan Barat. Pendidikan Barat berada pada alur
dan jalur binaan pemerintah dengan fasilitas yang memadai, sedangkan pendidikan
Islam terlepas dari tanggung jawab pemerintah kolonial. Kenyataannya membuat
ada duagenerasi yang berbeda orientasinya. Pertama, pendidikan Islam yang
ketika itu dilaksanakan di pesantren orientasinya keakhiratan, kedua,
pendidikan Barat yang orientasinya adalah keduniaan.
Sebetulnya perbedaan yang mencolok bukan
hanya terletak kepada perbedaan kedua orientasi itu, tetapi lebih dari itu
pemerintah kolonial Belanda tidak menempatkan pendidikan Islam sebagai bagian
dari perhatian mereka. Tidak memasukkan pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan kolonial Belanda, bukan hanya itu bahkan pendidikan agama pun tidak
diberikan di sekolah-sekolah pemerintah.
Setelah Indonesia merdek, BPKNIP (Badan
Persiapan Komite Nasional Indonesia Pusat) mengusulkan kepada pemerintah agar
memasukkan mata pelajaran pendidikan agama ke sekolah-sekolah. Selain dari itu
badan ini juga mengusulkan agar madrash dan pesantren supaya mendapat perhatian
dan bantuan nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Pendidikan Islam dalam uraian ini dapat
dikemukakan pengertiannya dalam tiga hal. Pertama, sebagai lembaga, kedua,
sebagai mata pelajaran, dan ketiga, sebagai value.[4]
peranan
kerajaan-kerajaan Islam dalam mendorong berkembangnya pemikiran Islam dapat
diambil contohnya kerajaan Islam di Sumatera, yaitu Aceh dan kerajaan Islam di
Jawa yaitu Mataram.
Peraanan kerajaan Islam di Aceh dalam
bidang pendidikan dapat dilihat dalam tulisan Hasjmy “Kebudayaan Aceh dalam
sejarah”. Beliau mengemukakan diantara lembaga-lembaga Negara yang tersebar
dalam Qanun meukuta Alam ada tiga lembaga yang bidsng tugaasnya meliputi masalah
pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
Balai
ini tempat berkumpulnya para sarjana, hukama (ahli piker) untuk membahas dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Setia Ulama
Balai
ini dapat disamakan dengan jawatan pendidikan yang membahas masalah pendidikan.
3. Balai Jamaah Himpunan Ulama
Balai
ini dapat disamakan dengan sebuah studi klub tempat para ulama/sarjana
berkumpul untuk bertukar pikiranmembahas masalah pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
Kerajaan
Islam lainnya yang juga menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam, adalah
Mataram. Dalam bidang kebudayaan upaya yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah
mensenyawakan unsure-unsur budayanlama dengan islam, seperti:
1. Gerebeg, disesuaikan dengan hari raya
idul fitri dan maulid nabi. Terkenal ada gerebeg poso (puasa) dan gerebeg
maulid.
2. Gamelan Sekaten, yang hanya dibunyikan
pada gerebeg mauled, atas kehendak Sultan Agung dipukul di halaman masjid
besar.
3. Perhitungan tahun saka (Hindu) pada
mulanya berdasarkan perjalanan matahari, tahun saka yang telah kerangka
1555saka,tidak lagi ditambah berdasarkan perhitungan matahari, melainkan dengan
hitungan perjalanan bulan, sesuai dengan tahun hijriah.
C. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM AWAL DI
INDONESIA.
Ada
beberapa lembaga pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia.
1. Masjid dan Langgar
Masjid
fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat. Selain dari fungsi utama masjid dan
langgar difungsikan untuk tempat pendidikan.
2. Pesantren
Inti
dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya
mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama.
3. Meunasah, Rangkang, dan Dayah
Meunasah
berasal dari kata madrasah, tempat belajar atau sekolah. Rangkang adalah tempat
tinggal murid, yang di bangun di sekitar masjid. Dayah adalah sebuah lembaga
pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran agama yang bersumber dari bahasa
Arab, tauhid, tasawuf, dan llain-lain, tingkat pendidikannya sama dengan SLTA.
4. Surau
Surau
diartikan tempat umat islam melakukan ibadahnya (bersembayang, mengaji, dan
sebagainya).[5]
Pendidikan
Islam pada zaman penjajahan Jepang
Kehadiran
jepang ke Indonesia terhitung amat singkat, yakni hanya 3,5 tahun. Namun waktu
yang singkat ini tidak berarti bahwa jepang tidak member pengruh terhadap
perkembangan pendidikan Islam. Lamanya waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh
Belanda di Indonesia, tidak menjadi jaminan bangsa Belanda telah berbua banyak
terhadap pendidikan Islam. Sebaliknya jepang yang berada di Indonesia dalam
waktu singkat telah memberikan pengaruh pendidikan Islam sebagai berikut.
Pertama,
umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembanhkan pendidikannya, karena
berbagai undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah Belanda yang sangat
deskriminatif dan sangat membatasi itu sudah
tidak diberlakukan lagi. Umat Islam pada zaman kolonial Jepang pemperoleh
peluang yang memungkinkan dapat berkiprah lebih luluasa dalam bidang
pendidikan.
Kedua,
bahwa sistem pendidikan Islam yang
terdapat pada zaman Jepang pada dasarnya masih sama dengan system pendidikan
Islam pada zaman Belanda, yakni disamping sistem pendidikan pesantren yang
didirikan kaum ulama tradisional, juga terdapat system pendidikan klasikal
sebagai mana yang terlihat pada madrasah, yaitu system pendidikan Belanda yang
muatannya terdapat pelajaran agama.[6]
Pendidikan
Islam pada zaman orde lama
Keadaan
pendidikan iIslam pada zaman orde lama belum mendapatkan perhatian yang
sungguh-sumgguh dari pemerintah. Adanya perlawanan ideologis politis dari
sebagian elite Islam sebagai mana tersebut diatas telah menimbulkan kecurigaan
dan rasa tidak suka pada pemerintah terhadap umat Islam. Namun demikian, adanya
sebagian elite muslim yang berpandangan progresif,, modern, dan nasionalis,
terutama kaum muslim yang telah tersentuh oleh pendidikan dan pengalaman dunia
modern, misalnya tokoh dan intelektual muslim yang mendapatkan pendidikan dari
negara maju telah mampu melakukan
komunikasi yang baik dengan pemerintah. Dengan duduknya elite muslim yang progresif
dan sejalan dengan visi, misi, dan tujuan pemerintah menyebabkan adapula
usaha-usaha yang dilakukan pemerintah orde lama terhadap kepentingan pendidikan
Islam, dengan penjelasan sebagai berikut.
Pertama,
dengan mendirikan Departemen Agama. Penbinaan pendidikan agama setelah
kemerdekaan Indonesia dilakukan secara formal institusional. Urusan keagamaan
dan pendidikan agama yang sebelum kemerdekaan ditangani oleh kantor agama yang
pada masa penjajahan Belanda bernama resmi kantor voor Inlandshe Zaken, dan
pada pada masa penjajahan Jepang bernama “shumuka”, setelah Indonesia merdeka
berubah nama menjadi Kementrian Agama dan diresmmikan pada 3 Januari 1946.
Kementrian Agama ini juga mengurusi bidang pendidikan yang berhubungan dengan
agama.
Kedua,
dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan berupa peraturan dan perundang-undangan
yang ada hubungannya dengan pendidikan agama. Dalam hal ini, pemerintah orde
lama mengelurakan undang-undang nomor 12 tahun 1950 yang didalamnya mengatur
pendidikan agama di sekolah negeri baik yang ada di Kementrian Agama, maupun
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada Bab XII pasal 20 undang-undang ini
misalnya dinyatakan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran
agama, orang tua murid menetapkan apakah akan mengikuti pelajaran tersebut atau
tidak. Selain itu, dijelaskan pula tentang cara menyelenggarakan pengajara
agama di sekolah negeri yang diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
bersama-sama dengan Menteri Agama.
Ketiga,
memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan
Islam, seperti madrasah dan pesantren. Karena pesantren dan madrasah memberikan pendidikan agama, maka
pesantren dan madrasah diserahkan pembinaan dan pengembangannya kepada
Departemen Agama. Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab ini, maka Departmen
Agama menetapkan beberapa kebijakan sebagai berikut: (1) member pelajaran agama
di sekolah negeri dan partikulir; (2) member pengetahuan umum di madrasah; dan
(3) mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam
Negeri (PHIN). Kebijakan Departemen
Agama ini dimanfaatkan oleh masyarakat Muslim Indonesia untuk mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Keempat,
dengan memberikan bantuan fasilitas dan sumbangan material kepada lembaga-lembaga
pendidikan Islam, seperti mengangkatguru agama, membantu biaya pembangunan
madrasah, bantuan buku-buku pelajaran, me-negeri-kan madrasah, dan bantuan
lainnya, walaupun jumlahnya masih amatterbatas sesuai dengan kemampuan ekonomi
pada waktu itu.[7]
Pendidikan
Islam pada zaman orde baru
Faktor-faktor
pendukung kemajuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut. Pertama, semakin
membaiknya hubungan dan kerja sama antara umat Islam dan pemerintah. Kedua,
semakin membaiknya ekonomi nasional. Pada zaman Pemerintah orde baru, usaha
pembangunan ekonomi menjadi primadona dan pilihan utama. Ketiga, semakin stabil
dan amannya pemerintahan. Pada zaman orde baru, Indonesia dikenal sebagai Negara yang aman dan stabil
di kawasan Asia Tenggara.[8]
Pendidikan
Islam pada era Reformasi
Keadaan
pendidikan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, kebijakan
tentang pemantapan pendidikan Islam sebagai bagian dari system pendidikan
nasional. Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan Islam.
Ketiga, program wajib Sembilan tahun. Keempat, penyelenggaraan sekolah bertaraf
nasional (SBN), internasional (SBI). Kelima, kebijakan sertifikasi guru dan
dosen bagi semua guru dan dosen baik negeri maupun swasta, baik guru umum
maupun guru agama, baik guru yang berada dibawah Kementerian Pendidikan
Nasional maupun guru yang berada di Kementerian Agama. Keenam, pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan Kurikulum tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP/2006). Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang
tidak hanya berpusat pada guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching,
melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learning
(belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang partisifatif, inofatif,
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (paikem). Kedelapan, penerapan
menejemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan
kepada para pelanggan (to give good service and satisfaction for all custumers)
sebagai mana yang terdapat pada konsep Total Quality Menejement (TQM).
Kesembilan, kebijakan mengubah nomenklatur dan sifat madrasah menjadi sekolah
umum yang berciri khas keagamaan.[9]
B.
Studi Islam Di Barat
Perkembangan
studi Islam di dunia terutama di barat terjadi karena adanya kontak dengan dunia
muslim, salah satunya yakni lewat kontak perguruan tinggi. Selain itu juga
dengan adanya penyalinan karya-karya ilmiah dari manuskrip-manuskrip Arab
kedalam bahasa Latin. Berkat penyalinan karya-karya manuskrip-manuskrip Arab
itu, terbukalah jalan bagi perkembangan cabang-cabang ilmiah di Barat. Dan
masih banyak faktor lain yang mendukung perkembangan studi Islam ke dunia
Barat.
Pembahasan
tentang bagaimana studi Islam di Negara non-Muslim dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni:
1. berdasarkan dosen yang mengajarkan
studi Islam
2. berdasarkan perguruan tinggi, dan
3. berdasarkan pusat studi.
Berdasarkan
dosen yang mengajar studi Islam di Barat, ada tenaga pengajar yang menganut
agama Islam (muslim), dan tenaga pengajar non-Muslim. Mereka non-Muslim ini
lebih dikenal dengan sebutan orientalist, dari kata orient yang berarti timur,
dan list berarti ahli. Maka secara bahasa orientalist adalah ahli ketimuran.
Maksud timur di sini adalah Islam. Maka ringkasnya, orientalist adalah ahli
keislaman. Para orientalist ini disebut sebagai orang yang mengetahui Islam
secara kognitif atau aqliyah (understanding), tidak pernah sampai pada tingkat
efektif atau qalbiyah (merasakan), apalagi pada tingkat phsikomotorik atau
fi’liyah/’amaliyah.
Sebelum
muslim memasuki universitas-universitas di Barat, dan belum ada muslim yang
dalam bahasa Inggris dan beberapa bahasa Eropa, ahli Islam di Barat didominasi
para orientalis. Maka buku-buku dan artikel-artikel tentang pemikiran-pemikiran
dibidang Islam pun didominasi dan merupakan hasil pemikiran para orientalis.
Seiring dengan adanya sarjana muslim yang sekolah di Barat dan menulis dengan
bahasa Barat tentang Islam, maka alhi keIslaman pun muncul dari sejumlah
muslim. Pada akhirnya banyak diantara sarjana Muslim ini yang dalam bahasa
Barat (Inggris, Perancis, Jerman, Yunani, Belanda, dan bahasa barat lain).[10]
Adapun
dari sisi kelembagaan/institusi, studi Islam di negara-negara non-Muslim tidak
selalu dengan nama Islamic Studies, tetapi dengan berbagai nama, semisal Middle
East Studies, Near Eastern Studies, Religious Studies, Comparative Religion dan
lain-lain. Di samping itu ada juga beberapa lembaga (pusat studi/center), baik
yang berafiliasi dengan universitas maupun tidak, yang menawarkan dan
menyediakan studi Islam. Diantaranya:
a. Islamic Society of North America
b. The Oxford Centre for Islamic Studies,
Inggris
c. Centre for Islamic Law and Society di
Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia.
Selanjutnya
pembahasan tentang sejarah dan dinamika perkembangan studi Islam di negeri
Barat yang dilakukan oleh para mahasiswa Indonesia beserta beberapa tokoh yang
memiliki peran penting. Studi Islam dikembangkan di negara-negara Barat, dan
juga di Timur Tengah, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Justru
karena nilai lebih dan kekurangannya inilah, hal yang paling penting adalah
bagaimana persoalan ini tidak dipertentangkan secara dikotomis. Aspek lebih
produktif yang justru penting untuk dikembangkan adalah bagaimana masing-masing
lulusannya saling melengkapi satu sama lain. Dengan mengedepankan persamaan dan
saling melengkapi satu sama lain, kombinasi keilmuan yang dihasilkan dari
lulusan Barat dan Timur Tengah tentu akan lebih baik dan menjanjikan dari pada
saling menjelekkan dan mencari kelemahan masing-masing.
Ditinjau
dari perspektif sejarah, studi yang dilakukan orang Indonesia di Barat sudah
cukup lama. Namun demikian, fokus studi yang dilakukan belum menyentuh secara
langsung dalam bidang kajian Islam. Studi di Barat pada masa itu lebih dilatar
belakangi oleh kepentingan politis kepentingan pemerintahan Belanda. Dengan
studi di negara Belanda, mereka diharapkan akan menjadi pengikut setia Belanda,
dan mengembangkan rasa kesetiaannya ini kepada masyarakat patronnya. Sebab,
kemajuan pendidikan yang mereka peroleh merupakan bentuk kebaikan yang
diberikan oleh pemerintah Belanda, sehingga mereka tidak akan menghianati
pemerintahan yang tekah membiayai, lalu mengangkatnya sebagai pegawai
pemerintahan. Sebagai contoh Raden Mas Ismangoen Danoewinoto, mahasiswa
Indonesia pertama yang melakukan studi di Barat, yaitu di Leiden Belanda.
Seiring
dengan perkembangan zaman, studi ke negara-negara Barat terus berkembang. Studi
yang dilakukan oleh orang Indonesia mengambil konsentrasi bidang ekonomi,
politik, pemerintahan dan belum ada yang mengambil fokus khusus studi Islam.
Fokus studi Islam baru mulai dilakukan setelah Indonesia merdeka. Orang
Indonesia yang pertama kali yang melakukan studi Islam di Barat adalah M.Rasjidi. menteri Agama pertama Indonesia ini
menamatkan program doktor di Universitas Sorbone Prancis.
Tokoh
penting lain yang menjadi generasi awal yang melakukan studi Islam di Barat
pasca Rasjidi adalah Harun Nasution. Harun menempuh pendidikan tingginya di
Kairo dan di Kanada. Jadi perpaduan antara Timur Tengah dan Barat. Tokoh lain
yang memiliki peranan penting dalam studi Islam di Barat adalah A.Mukti Ali.
Dalam perjalanan intelektualnya, A.Mukti Ali pernah belajar di Pakistan.dan
melanjutkan di McGill University, Montreal, Kanada dengan beasiswa dari
Foundation.
Tiga
tokoh diatas, yaitu Rajidi, Harun Nasution, dan Mukti Ali, adalah generasi awal
sarjana Islam Indonesia yang melakukan studi Islam di Barat. Setelah generasi
mereka, muncul puluhan intelektual yang juga menempuh studi Islam di Barat.beberapa
dianteranya adalah Nurcholish Madjid, M. Dien Syamsuddin, Thoha Hamim, Akh.
Minhaji, dan sebagainya. Para alumni Barat ini mempunya pengaruh dan kontribusi
besar dalam studi Islam di Indonesia.
Selain
orang-orang Indonesia yang melakukan studi Islam di berbagai Universitas di
Barat, aspek penting yang memerlukan perhatian lebih adalah deskripsi studi
Islam di negara-negara Barat. Di negara-negara Barat, studi Islam berkembang
dengan bervariasi. Misalnya di Chicago University, studi Islam lebih menekankan
pada pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam
non-Arab.
Sebenarnya,
kajian Islam yang dilakukan di Barat sudah berlangsung cukup lama. Jika
mencermati pada dinamika dan perkembangan yang terjadi, studi Islam di Barat
semenjak abad ke-19 hingga sekarang ditandai oleh tiga model pendekatan.
1. Studi Islam dengan pendekatan
fisiologis. Pendekatan ini biasa dipergunakan oleh para orientalis generasi
awal abad ke-19 dan masih tetap memiliki pengaruh yang kuat diawal abad ke-20.
Disini yang mengkaji Islam lebih banyak berasal dari kalangan pakar bahasa dan
pakar-pakar ahli klasik. Nilai lebih dari kajian seperti ini adalah
keberhasilannya untuk membongkar khazanah pemikiran Islam klasik yang
berserakan. Namun pendekatan ini juga memiliki kelemahan, yakni mendapatkan
Islam hanya terbatas pada informasi teks saja, sementara sisi-sisi lain
Islamyang sesungguhnya jauh lebih luas dan kaya tidak dapat diketahui.
2. Studi Islam dengan pendekatan ilmiah,
pendekatan ini berkembang setelah Perang Dunia kedua. Mereka yang menjadi
pelopor adalah dari kalangan ilmuwan sosial. Kalangan ini melihat Islam sebagai
masyarakat sistemik sebagaimana masyarakat barat, sehingga kekhasan dan
keunikannya yang bersifat kultural tidak tampak oleh mereka.
3. Islam dengan pendekatan
fenomenologi-interpretatif .Belajar dari kelemahan pendekatan sebelumnya,
penganjur pendekatan ini memahami Islam,khususnya masyarakat Islam, sebagai
sistem simbol yang sarat dengan makna-makna sebagaimana yang dikehendaki oleh
dirinya sendiri, bukan dari persepsi orang barat atas diri mereka.
Munculnya
pandangan yang kurang suka, kritis, atau bahkan sinis terhadap fenomena studi
Islam di Barat, dan banyaknya mahasiswa Indonesia yang studi di pusat-pusat
kajian Islam di Barat, sebagian dilatari oleh kecurigaan, dan juga kekhawatiran
terhadap berbagai dampak negatif yang muncul terhadap umat Islam. Adapun aspek
yang dikritik adalah :
Pertama,
kajian-kajian tentang islam yang dilakukan di Barat cenderung bersifat
“esensialis”, yakni menjelaskan seluruh fenomena masyarakat dan kebudayaan
muslim dalam kerangka tunggal dan tidak berubah. Kedua, kajian – kajian islam
di barat dimotivasi oleh kepentingan – kepentingan politis. Dan ketiga, kajian
– kajian islam di barat merupakan upaya untuk melestarikan “kebenaran –
kebenaran” yang dicapai atas nama kehidupan intelektual dan akademis, Padahal,
hampir tidak mempunyai kaitan dengan kenyataan yang hidup.
Namun
demikian studi Islam yang dilakukan di
Barat juga memiliki berbagai kelebihan.Sebagaimana yamng dituturkan Yudian W
asmin, di Barat, mahasiswa menjadi pusat pengembangan, sedangkan dosen hanya
mengarahkan. Keseriusan ‘mengobrak abrik’ pustaka merupakan lambang supremasi,
yang tercermin dalam tulisan mahasiswa yang memang dilatih untuk berpikir
kritis, akurat, dan bertanggung jawab. Kemampuan untuk menggali sumber – sumber
di pustaka ini dilengkapi dengan kemampuan empat bahasa: dua bahasa dunia Islam
dan dua bahasa Barat. Karena pendekatannya bersifat historis analitis, yang memandang
islam sebagai peradaban, bukan sebagai agama, maka hasil penelitian seseorang
dianggap relatif, bahkan al-riwayah bi al-lafdz dianggap sebagai plagiat.
Publikasi merupakan ukuran tinggi
rendahnya pengetahuan seseorang.
Studi
Islam di Barat memang sarat dengan dinamika. Ada nilai lebih, dan juga kekurangannya. Sebagaimana
studi dalam bidang apapun dan dimanapun juga, tidak ada yang sempurna. Semuanya
tetap membuka peluang untuk terus menerus diperbaiki dari waktu ke waktu. Namun
demikian, harus diakui bahwa studi Islam di Indonesia, khususnya di PTAI,
banyak dipengaruhi oleh model dan paradigma yang dikembangkan oleh para alumni
Barat.
C. STUDI ISLAM DI TIMUR
Studi islam di timur, tidak jauh
berbeda dengan yang ada di Negara Barat yaitu bervariasi dan memiliki karakter
masing-masing. Karena dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya faktor kebijakan
politik, dinamika sosial budaya, latar belakang pemegang kebijakan pendidikan
perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
1. Teheran, Iran
Di
Universitas Teheran, Iran ada ruangan khusus yang menyimpan naskah-naskah kuno
yang ditulis dalam bahasa Persia oleh para pemikir klasik. Marshal Hudgson
mengatakan dalam bukunya, The Venture of Islam, bahwa dalam pemikiran Islam,
ada Islam, ada Islamicate, dan ada Islamdom, yaitu kebudayaan Islam setelah
berinteraksi dengan berbagai budaya dari negeri-negeri yang kemudian disebut
negeri-negeri muslim. Di Universitas Teheran ini, studi islam dilakukan dalam
satu fakultas yang disebut Kulliyat Ilahiyat (Fakultas Agama). Di Teheran juga
ada universitas Islam Sadiq yang mempelajari Islam dan ilmu umum sekaligus.
2. Damaskus, Syria
Di
Universitas Damaskus Syria, yang memiliki banyak fakultas umum, studi Islam
ditampung dalam Kulliatu al-Syari’ah (Fakultas Syari’ah), yang didalamnya ada
program studi Ushuludin, Tasawuf, Tafsir, dll. Jadi, pengertian syari’ah disitu
lebih luas daripada pengertian syari’ah sebagai hukum Islam, seperti yang ada
di IAIN atau UIN.
3. India
Di
Aligarch Universitas India, studi islam dibagi dua. Pertama, Islam sebagai
doktrin dikaji dalam Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan: jurusan
Madzhab Ahli Sunnah dan Syi’ah. Kedua, Islam sebagai sejarah dikaji pada
Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies yang berdiri sejajar dengan
jurusan Politik, Sejarah, dll. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi, Islamic
Studies Program berada pada Fakultas Humaniora, bersama dengan Arabic Studies,
Persian Studies, dan Politik Science.
4. Nizhamiyah di Baghdad
Perguruan
tinggi Nizhamiyah di Baghdad ini berdiri pada tahun 445 H/1063 M. [3] Perguruan
tinggi ini dilengkapi dengan perpustakaan yang terpandang kaya raya di baghdad,
yakni Bait Al-Hikmah yang dibangun oleh Khalifah Al-Makmun (813-833 M), salah
seorang ulama besar yang pernah mengajar
di sana, adalah ahli pikir islam terbesar, Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M),
yang kemudian terkenal dengan sebutan Imam Ghazali.
Di
lembaga ini ada empat unsur pokok, yakni seorang mudarris (guru besar) yang
bertanggung jawab terhadap pengajaran di lembaga pendidikan, muqri’ (ahli
Al-Qur’an) yang mengajar Al-Qur’an di masjid, muhaddis (ahli hadis) yang
mengajar hadis lembaga pendidikan, dan seorang pustakawan (Bait Al-Maktub) yang
bertanggung jawab terhadap perpustakaan, mengajar bahasa dan hal-hal yang terkait.
Perguruan
tinggi tertua di Baghdad ini hanya sempat hidup hampir dua abad. Yang akhirnya
hancur akibat penyerbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulaghu Khan pada
tahun 1258 M.
5. Cordova
Adapun sejarah singkat Cordova dapat
digambarkan demikian, bahwa di tangan Daulat Ummayah, semenanjung Liberia yang
berabad-abad sebelumnya terpandang daerah minus, berubah bagaikan disulap
menjadi daerah yang makmur dan kaya raya akan pembangunan bendungan-bendungan
irigasi di sana sini menuruti contoh lembah
Nil dan lembah Ephrate. Bahkan pada masa berikutnya, Cordova menjadi pusat ilmu
dan kebudayaan yang gilang gemilang sepanjang zaman tengah. The Historians’
History of the World menulis tentang peri keadaan pada masa pemerintahan Amir
Abdurrahman I (756-788 M) itu, sebagai berikut, demikian tulis buku sejarah
terbesar tersebut tentang perikeadaan Andalusia waktu itu, yang merupakan pusat
intelektual di eropa dan dikagumi kemakmurannya. Sejarah mencatat, sebagai
contoh, bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar ke Cordova pada tahun 1120 M,
dan pelajaran yang dituntunnya adalah geometri, algebra (aljabar), matematik.
Gerard dari Cremona belajar di Toledo seperti halnya Aelhoud ke Cordova.
6. Kairawan Nizam al-Muluk di Maroko
Perguruan tinggi Kairwan ini berada
di kota Fez (Afrika Barat). Perguruan tinggi ini bermula dibangun pada tahun
859 M oleh puteri seorang saudagar hartawan di kota Fez, yang berasal dari
Kairawan (Tunisia). Pada tahun 305 H/918 M perguruan tinggi ini diserahkan
kepada pemerintah dan sejak saat itu menjadi perguruan tinggi resmi, yang
perluasan dan perkembangannya berada di bawah pengawasan dan pembiayaan negara.
Seperti
halnya perguruan tinggi Al-Azhar, perguruan tinggi Kairawan masih tetap hidup
sampai sekarang. Di antara sekian banyak alumninya adalah pejuang nasionalis
muslim terkenal, diantaranya adalah Allal Al-Fasi, dan Mahdi Ben Barka, yang
berhasil mencapai kemerdekaan Maroko dari penjajahan Perancis sehabis perang
Dunia kedua, lalu pejabat PM Maroko di bawah Sultan Muhammad V. Sedangkan
ilmuan termasyhur yang pernah menjadi maha gurunya antara lain Ibnu Thufail
(1106-1185 M) dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), pada masa Daulat Almuwahhidin dari
Eropa, maka nama Avenbacer (Abu bakar Ibnu Thufail) dan Averroes (Ibnu Rusyd)
dan Avempas (Ibnu Bajah) dan Alhazem (Imnu Hazmi) dan lainnya, amat populer dan
harum di Eropa.
Sebagai
catatan, perguruan tinggi Al-Azhar (972 M) di Mesir, dan perguruan tinggi
Kairwan (859 M) di Maroko, adalah lebih tua dibandingkan dengan perguruan tinggi
Oxford (1163 M) dan perguruan tinggi Cambridge (1209 M) di Inggris, dan
perguruan tinggi Sorbonne (1253 M) di
Perancis, perguruan tinggi Tubingen (1477 M) di Jerman, dan perguruan tinggi
Edinburg (1582 M) di Skotlandia.
Penyebab utama kemunduruan dunia
muslim, khususnya di bidang ilmu pengetahuan adalah terpecahnya kekuatan
politik yang digoyang oleh tentara bayaran Turki. Kemudian dalam kondisi
demikian datang musuh dengan membawa bendera perang salib. Akhirnya, Baghdad
sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu dihancurkan Hulaghu Khan tahun 1258
M. Pusat-pusat studi termasuk yang dihancurkan Hulaghu Khan
7. Mesir
Panglima
besar Juhari Al-Siqili pada tahun 362 H/972 M membangun Perguruan Tinggi
Al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syiah. Pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Hakim Biamrillah (966-1020), khalifah keenam dari
Daulat Fathimiyah, ia pun membangun perpustakaan terbesar di Al-Qahirah untuk
mendampingi Perguruan Tinggi Al-Azhar, yang diberi nama Bait Al-Hikmah (Balai ilmu
pengetahuan), seperti nama perpustakaan terbesar di Baghdad.
Pada
tahun 567 H/1171 M Daulat Fathimiyah di tumbangkan oleh Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi yang mendirikan Daulat Ayyubiyah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk
kembali kepada Daulat Abbasyiah di Baghdad. Kurikulum pada perguruan tinggi
Al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari aliran Syi’ah kepada aliran Sunni. Ternyata perguruan
tinggi al-Azhar ini mampu hidup terus sampai sekarang, yakni sejak abad ke-10 M
sampai abad ke-20 M dan tampaknya akan
tetap selama hidupnya.
Di
Universitas Al-Azhar Mesir, yang imam bagi seluruh Universitas Islam dari segi
metodologi mendekati Islam, paling
kurang pada awal-awalnya, studi islam telah berubah bentuk pengorganisasiannya.
Al-Azhar sampai tahun 1961 memiliki fakultas-fakultas seperti yang dimiliki
IAIN. Setelah tahun 1961, Al-Azhar tidak
lagi membatasi diri pada fakultas-fakultas agama, tetapi juga membuka
fakultas-fakultas lain Al-Azhar, disamping ada di Kairo, juga ada di
daerah-daerah dan mempunyai program khusus untuk wanita dan laki-laki. Di Kairo
sendiri ada beberapa fakultas, yakni Fakultas Ushuluddin, Fakultas Hukum
(Islamic Jurisprudence and Law/ Kulliatu al-Syariah wa al-Hukm), Fakultas
Bahasa Arab(Faculty of Islamic and Arabic Studies/Kullayah al-Dirasah
al-Islamiah) Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah, Kulliah al-lughah wa
al-Tarjamah (Fakultas Bahasa dan Terjamah), Fakulty of Scince (Fakultas Sains),
Fakultas Kedokteran (Faculty of Medicine), Fakultas Pertanian, Ekonomi, Tehnik.
Pada fakultas sains terdapat jurusan-jurusan Kimia, Geologi, Microbiologi,
Anatomi, Astronomi, Fisika, dan Zoology. Sedangkan pada Fakultas Peternakan
terdapat jurusan Peternakan, Ekonomi Pertanian, Industri, Makanan, Genetika,
Pertanahan, Insektisida, Holtikultura, dan Masyarakat Pedesaan.
Di daerah-daerah seperti Al-Suyut
ada fakultas Ushuluddin, Dakwah, Syari’ah wa al-Huquq, Bahasa Arab, Kedokteran
Umum, Kedokteran Gigi dan Farmasi. Di Zarkasyi ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah,
dan Bahasa Arab. Di Tanta ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, Bahasa Arab dan
seterusnya.
Melihat paparan ini dapat kita
simpulkan bahwasanya studi Islam di Timur, sebagaimana studi Islam di Barat dan
berbagai negara lainnya, juga tidak seragam. Ada karakteristik yang khas dari
masing-masing negara, dan juga perguruan tinggi. Hal ini menjadikan kekayaan
warna dalam studi Islam di masing-masing lembaga dan negara. Konstruksi semacam
ini justru akan semakin memperkaya warna studi Islam.
IV.
KESIMPULAN
Studi islam
di dunia baik Indonesia, Negara Barat, maupun Negara Timur terdapat banyak
perbedaan. Perbedaan tersebut dikarenakan proses awal masuknya Agama Islam ke
berbagai negara islam di dunia yang berbeda.
Studi islam
di Indonesia terdapat fase-fase tersendiri. Di antaranya :
1. Mulai tumbuhnya Islam
2. Masuknya ide-ide pembaruan
3. Disahkannya UU sistem pendidikan
Di Indonesia
juga terdapat beberapa masa yang mempengaruhi proses perkembangan studi Islam,
di antaranya:
1. Masa penjajahan Jepang
2. Masa Orde Lama
3. Masa Orde Baru
Masa
Reformasi Pembahasan tentang bagaimana studi Islam di Negara non-Muslim dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. berdasarkan
dosen yang mengajarkan studi Islam
2. berdasarkan
perguruan tinggi, dan
3. berdasarkan
pusat studi.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan studi Islam di Timur, antara lain: kebijakan
politik, dinamika sosial dan budaya dan latar belakang pemegang kebijakan
pendidikan perkembangan ekonomi, dan berbagai faktor lainnya.
V. PENUTUP
Demikian
makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan
baik dalam segi penyampaian maupun penyusunan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki
penyusunan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Naim,
Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, Teras, 2009.
Nasution,
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, ACAdeMIA+TAZZAF,
2010.
Nata,
Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2011.
Putra
Daulah, Haidar, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara,
Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009.
Putra
Daulah, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta, Kencana, 2009.
[1]
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan
Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 10-13.
[2]
Ibid, hlm. 45
[3]
Ibid, hlm. 47
[4]
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 159-160.
[5]
Ibid, hlm. 17-26.
[6]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 308-309.
[7]
Ibid, hlm. 318-322.
[8]
Ibid, hlm. 337-340.
[9]
Ibid, hlm. 352-359.
[10]
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA,
2010), hlm. 93-94.
Langganan:
Postingan (Atom)